Penulis📰✍️ Anang Prasetyo
BN News – Tahun 2019 kami melaksanakan ekspedisi Diponegoro. Untuk mengungkap siapa saja guru-guru Pangeran Diponegoro.
Sebab, tokoh dibalik sang Pangeran, adalah salah satu kunci keberhasilan sebuah perjuangan.
Sebagaimana Bung Tomo yang berani meneriakkan pekik takbir perjuangan, tak akan sebergetar dan sedahsyat itu jika bukan mendapatkan suntikan semangat juang oleh Hadrotus Syaikh KH Hasyim Asyari.
Demikian pula sejarah mencatat, Sultan Sholahudin al Ayyubi mampu mengalahkan tentara salib, jika tanpa didikan Sang Guru, Imam Al Ghozaliy, dan guru lainnya.
Selayaknya Sang Timur, Soekarno dengan diplomasi dan pidatonya yang berapi – api hingga mampu mengucapkan proklamasi 17 Agustus 1945, itu tak akan terwujud jika bukan karena didikan Mahaguru HOS Cokroaminoto. Sang raja tanpa mahkota, keturunan dari Kyai Hasan Besari Jetis Ponorogo.
Maka demikianlah, sejarah diukir oleh para tokoh yang memiliki guru-guru yang telah berjasa membesarkannya. Para Guru yang tentu saja kokoh dalam iman tawhid, menjaga syariat dan disertai dengan suluk budi pekerti mulia dalam jiwanya.
Pada tahun 2019 itu team terdiri pengasuh Al Waarits, Bu Nyai Esti L Faizah, dari santri Pesma Al Waarits Zayn,Reza, Ryan Komunitas Padhang Njingglang Ainun, juga bergabung mas Didi wartawan Samara FM sekaligus jurnalis ABC Network. Juga ada salah satu pengajar Pesma Al Warits, Ustadz Burhan. Ikut Mas Rommy praktisi psikoterapi beserta istri.
Obyek kajian ekspedisi itu adalah demi melacak siapa Guru Pangeran Diponegoro. Kami juga bersilaturahmi ke RM Rony Sodewo. Keturunan sang pangeran dari jalur Mbah Sodewo bin P Diponegoro.
Saat itu pelacakan dimulai dari Mlangi, Plosokuning Yogyakarta hingga ke Masjid Santren Bagelen Purworejo. Dimana Syekh Baidhowi membantu perjuangan Sultan Agung dalam melawan penjajah Belanda.
Sementara, di tahun baru Islam dan tahun baru Jawa Muharom atau Suro 1446 H atau 1958 Saka. Bertepatan dengan hari Jumat pahing 19 Juli 2024. Barangkali ini adalah ekspedisi lanjutan dari ekspedisi pertama diatas. Anggap saja demikian.
Meskipun jujur, tidak berdasarkan persiapan yang sungguh matang. Kecuali mengalir menuruti kehendak zaman Sang Pemilik Alam. Wallohualam.
Team Ekspedisi kali ini terdiri dari KH Rofii Hasan, beliau pernah menjadi khotib Abuya dan murid Abuya Sayyid Muhammad Alawi al Maliki Al Hasani. Kyai Trunohadi, kyai sepuh pemegang amanat dari sesepuh, yang diberi tugas menyerahkan Keris Raden Wijaya kepada Almaghfurloh Gus Sholahudin Tebuireng, dan gada Maha Patih Gajahmada kepada almaghfurlah KH Hasyim Muzadi, ketua PBNU saat itu.
Team juga dibersamai oleh Ndan Samsul , seorang mantan marinir, yang sudah sangat lama ingin ke Imogiri.Ada pula mebersamai kami ust Toha Syaefudin , salah perintis lembaga pendidikan Al Azhaar Tulungagung, salah satu keturunan Hadrotus syaikh dan keturunan Raja Bima. Serta saya sendiri sebagai sohibul hajjat dan mas Fahru santri kalong dari Pesma Al Waarits.
Team berangkat kamis 18 Juli 2024 malam dan sampai di Imogiri, tepatnya di Masjid Pajimatan yang didirikan Paku Buwono X pada pagi harinya.
Setelah sholat Jumat kami ziarah di Makam Sultan Agung, hingga waktu ashar. Selain membaca fawatih, yasin dan tahlil kami bermunajat kepada Alloh agar keinginan kami berziarah Makkah Madinah di bulan Robiul Awal 1446 terwujud. Demi dan dalam rangka membersamai umroh arbain guru murobbi kami. Insya Alloh.
Team berenam lebih ingin membedah keilmuan Sultan Agung hingga menjadi Sultan di Mataram. Bersyukur di tengah jalan, kami dijumpakan dengan Gus Nurudin di Krapyak Jogyakarta. Dari beliaulah kami pada akhirnya menyerap keilmuan sejarah, nasab dan nilai hikmah perjuangan para leluhur yang luar biasa.
Beliau dengan arif menyampaikan pula perihal istilah Wong Jawa ben Njawa. Artinya bagaimana agar orang Jawa bisa memahami Jawa-nya. Itu adalah salah satu pitutur agung dari Sunan Kalijaga. Hingga sampai pada titik kisah hikmah, tentang pengorbanan para dzuriyah Nabi yang lebih memilih jalan mastur di bumi nuswantara ini.
Sebab, nasab Sultan Agung sendiri, sebagaimana jalur keatas nanti adalah bersambung kepada Sunan Giri di Giri Kedaton Gresik.
Perjalanan Team Ekspedisi Sultan Agung ke Jogyakarta sendiri , aslinya ada 2 agenda utama. Yang pertama adalah ziyaroh ke Sultan Agung dan muhibbah keilmuan dalam rangka menghadiri launching buku Syaiful Adnan karya tulis Deni Juneidi dosen seni lukis ISI Jogyakarta. Syaiful Adnan the legacy of Syaefulli Calligraphy.
Bung Syaiful Adnan adalah pelukis kaligrafi yang terkenal dengan khot Syaifulli nya. Beliau adalah pembuat logo halal MUI. Teman pelukis yang pernah seperjuangan saat penulis aktif di PDM Jogyakarta, tatkala tahun 1997an.
Kami berdua pernah berpameran bersama di acara Sepekan Budaya Islami SEPEKANIRU di Beteng Vreedeburg Jogyakarta. Yang kami baru menyadari bahwa karya kami sudah pernah merajut silaturahmi bersama di gedung bekas benteng VOC itu.
Diantaranya karya Deni Junaedi, Agus Baqul Purnomo, dan Bang Syaiful Adnan sendiri. Seluruh teman itu kini menjadi pesohor seni rupa.
Mas Deni Junaedi, sang penulis buku Syaiful Adnan The Legacy of Syaifuli Calligraphy, serta pemilik kanal Youtube Painting Explorer yang sudah mendunia.
Sementara mas Agus Baqul Purnomo adalah pelukis kaligrafi kontemporer yang karya-karyanya sudah mendunia pula.
Adapun Bung Syaiful Adnan adalah pelukis yang salah satu impiannya memiliki buku biografi sendiri, kini sudah mampu terwujud.
Alhamdulillah.
Bahagia rasanya.
Qodarulloh, salah satu dari Triumvirat, meminjam istilah salah satu tokoh yang memberikan sambutan di acara launching buku tersebut, (selain Syaiful Adnan dan Deni Junaedi), ada Taufiq Ridwan. Beliaulah yang membantu terwujudnya impian lama Syaiful Adnan.
Taufiq Ridwan, adalah owner Dini art management, sekaligus pemilik Coffe Ku Den yang ditempati Sang Maestro Syaiful Adnan untuk berpameran sekaigus launching buku bersejarahnya itu. Taufiq Ridwan adalah sesama guru di SMA Muhammadiyah 2 Jogyakarta.
Berarti , setidaknya, kami sudah menempuh perjalanan persahabatan sejak 27 tahun yang silam. Sebuah perkawanan yang sangat lama kiranya.
Masalahnya adalah, saat Syaiful Adnan berpameran tunggal di Jakarta 2023 lalu kami belum bisa bertemu dan menghadiri. Kecuali akhirnya dipertemukan dalam pameran Seniman Jejaring Khat di Hotel Loman Jogyakarta. Sebuah pertemuan seni yang bersejarah saya kira.
Sebab kami juga bisa berjumpa dengan Gusti Prabukusumo, adik Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tentu saja beliau salah satu keturunan Sultan Agung. Sebagaimana judul ekspedisi yang kami laksanakan.
Saat itu juga bertemu dengan KH D Sirojudin AR. Salah satu perintis kaligrafi di Indonesia, pendiri Lemka itu.
Hingga melalui pameran seniman Jejaring Khat di Hotel Loman di tahun 2023 itulah, saya diminta menulis di katalog pameran dengan judul Kalau Boleh Cemburu.
Walhasil, perkawanan kami terus bertumbuh. Semoga perkawanan dalam Iman, Islam dan Ihsan Insyaalloh.
Kesimpulan akhirnya, meskipun berjudul Ekspedisi Sultan Agung, pada akhirnya agenda tersebut adalah satu kesatuan.
Setidaknya, kami sudah menetapi salah satu wasiat sang sultan.
Bukankah wasiat beliau Sultan Agung, bagi anak turun dan semuanya saja, adalah untuk menguasai ketrampilan seni musik karawitan, geguritan, tetembangan dan kepenulisan.
Sebuah warisan yang agung saya rasa.
Deni Junaedi telah menorehkan tulisan bersejarahnya di buku yang dilaunching. Syaiful Adnan telah menggenapi impian hidupnya dengan buku biografi bersejarahnya. Taufiq Ridwan dengan manajemen agungnya telah memediasi , atau jadi washilah silaturahmi yang menyambungkan seluruh tokoh.
Siapa yang menyangka, di acara tersebut kami dijumpakan dengan para tokoh legendaris fotografis Risman Marah. Juga seniman sekaligus kolektor sekaliber Nashirun. Dan banyak tokoh yang bintang gemintangnya tak bisa saya sebut satu persatu. Acara itu sungguh berkah dan membahagiakan hati bagi seua yang hadir.
Bahkan team berenam mendapat hadiah buku Syaiful Adnan The Legacy of Syaifuli Calligraphy. Sebuah hadiah buku terindah hingga hanya Tuhan Alloh Yang Maha Indah yang mampu membalasnya.
Saya pribadi, justru mendapat 2 buku. Pertama yang dikirimkan oleh Pak Taufiq Ridwan atas kehendak Bang Syaiful Adnan.
Maka nikmat Tuhan mana yang bisa kita dustakan ?
Jawabannya tentu saja tida ada. Sama sekali tidak ada.
Pada akhirnya,
Seni dan sejarah memiliki konsep dan wacananya sendiri-sendiri. Namun keduanya terintegrasi. Satu kesatua utuh dan padu. Sebagaimana fardhu ayn dan fardhu kifayanya konsep ilmu Imam Al Ghozaliy. Atau Sebagaimana konsep tawhidiy ala Maha Guru Filsafat Islam Syed Naquib al Attas. Demikian pula, konsep ilmu Jamiiy ala Guru Murobbi KH Muhammad Ihya’ Ulumiddin.
Sudut pandang keilmuan perihal Sultan Agung Hanyokrokusumo, pada akhirnya lebih didekati pada aspek ilmu laku. Ilmu tumekane kanthi laku. Baik bersumberkan secara burhani, irfani atau bayani.
Team Ekspedisi Sultan Agung kini saling berbagi cerita dan pengalaman. Di ruang tamu ndalem Almarhum Kyai Kholis Miharjo Salatiga. Menantu dari KH Abu Sujak , yang wafatnya di Jeddah saat menunaikan umroh.
Salah satu keilmuan dibedah oleh Ndan Samsul dari perspektif seorang tentara angkatan laut. Jika sudah maju perang maka pantang mundur dari palagan.
Ceritera Gus Nurudin Krapyak, kami jadi tahu
bahwa Sultan Agung lebih memilih belajar di Makkah daripada menjadi penguasa Mataram.
Hingga akhirnya dibujuk rayu salah utusan ke Makkah.
Jika peziarah masuk ke makam Sang Sultan, ada batu pualam putih yg ditanam di samping makam beliau, yg menjadi tempat sujud peziarah, adalah batu hadiah Sultan Syarif di Makkah, berkat dakwah Sultan Agung di tanah Jawa Puncak Mataram Islam adalah di era Sultan Agung.
Yang memberi hadiah penghargaan tersebut, berdasar catatan ust Tobah Toyyibah, adalah sultan tlerakhir hijaz ( sebelum di jatuhkan Malik Abdul Aziz as Saud ) di pimpin oleh sultan Asyarif Husein al Hasani ( dzurriyah Rasulullah dari sayyidina Hasan ) Makkah bagian Hijaz . Istilah sultan terhapus di Hijaz di ganti malik sampai sekarang sejak raja Malik Abdul Aziz berkuasa.
Istilah Saudi di ambil dari klan Malik abdul Aziz alus Saud .
Walhasil, kesatuan ilmu dalam tulisan ini, berupaya melacak jejak agung Sultan Agung. Sekalugus membaca jejak sejarah maestro kaligrafi Syaiful Adnan.
Keduanya, dengan perspektifnya masing- masing , telah menorehkan kisah yang agung. Kami dari Tulungagung, serasa mendapat anugerah agung dari Sang Maha Agung. Sebab daerah mataraman adalah wilayah yang menopang dakwah dan perjuangan sang sultan.
Ternyata, hingga zaman berlalu, perasaan itu tetap hidup dan kami merasa hidup dengan itu.
(Penulis adalah guru, dan pelukis. Tinggal di Joglo Sendang Kamulyan Tulungagung)