Penulis📰✍️ Arik S. Wartono
BN News – Pameran Tunggal Lukisan Yang Berdzikir Arik S. Wartono digelar di Galeri Merah Putih, Kompleks Balai Pemuda Alun-alun Surabaya Jl. Gubernur Suryo No. 15 Surabaya, pada 24-30 Agustus 2024
Menampilkan 17 karya lukisan dengan media cat akrilik, cat air, tinta, pena dan serbuk logam mulia (termasuk emas) di atas kanvas. 14 karya berukuran 50×40 Cm, 1 karya 75×60 Cm, 1 karya 50×50 Cm dan 1 karya ukuran 100×100 Cm.
Pembukaan:
Sabtu, 24 Agustus 2024, pukul 16.00 WIB
Pameran dibuka oleh Katirin (seniman)
Gallery buka setiap hari mulai pukul 9 pagi hingga 9 malam.
Terbuka untuk umum, FREE HTM.
Berikut narasi karya untuk membantu memahami karya-karya yang akan dipamerkan:
MELUKIS DALAM DZIKIR, BERDZIKIR DALAM LUKISAN
Rumi menari sambil berdzikir, demi membuktikan bahwa setiap gerak adalah kehendak Allah, setiap gerak fisik-tubuh sekaligus mental ia dikembalikan pada upaya penyadaran atas kuasa-Nya, bahwa tak ada hal sedahsyat dan seagung apapun sekaligus seremeh-temeh apapun yang lepas dari kuasa-kehendak-ijin Allah.
Seperti halnya tarian Rumi atau Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī (Bahasa Persia: جلالالدین محمد رومی), juga dikenal dengan nama Jalāl ad-Dīn Muhammad Balkhī (30 September 1207 – 17 Desember 1273),
melukis juga gerak, upaya kesadaran menggerakkan sel-sel tangan dan anggota tubuh lainnya (mata dll) sekaligus syaraf motorik dan sensorik yang terhubung pada sel otak dan qolbu. Gerak anggota tubuh-otak-qolbu secara fisik sekaligus mental saat melukis tidak akan pernah lepas dari campur tangan kuasa Allah. Jika Allah tak berkehendak tentu proses melukis tak akan pernah terjadi dan karya seni berupa lukisan tak akan pernah tercipta.
Dalam konsepsi ini, sesungguhnya siapa yang mencipta karya seni? Ketika seorang seniman berupaya menangkap sesensi kehidupan yang tergelar di alam semesta ini kemudian memindahkannya dengan segenap daya cipta-rasa-karsanya ke dalam media seni, apakah sang seniman bisa lepas dari kuasa-kehendak-ijin Allah? bahkan sekalipun karyanya itu justru berupa upaya menafikan eksistensi Allah. Karena secara esensial sesungguhnya siapa yang menggerakkan sel-sel yang hidup atau bahkan siapa sesungguhnya yang menghidupkan sel? mustahil ia hidup otomatis begitu saja tanpa ada yang menghidupkan sedangkan robot pun pasti ada seseorang atau sesuatu sebagai kreatornya sekaligus ada sumber energi yang menggerakkannya.
Maka ketika aku Arik S. Wartono melukis, secara azali siapa sesungguhnya pencipta lukisan karya-karyaku? Aku sepenuhnya sebagai entitas yang utuh-bebas, ataukah justru ada entitas lain yang lebih berkuasa atas kehendak terciptanya karya-karya lukisku?
Aku mempercayai nalar logika sekaligus kemustahilan, kosmos sekaligus chaos. Maka mustahil bagiku mengingkari nalar logis bahwa pasti ada campur tangan Allah pada setiap kehendak dan tindakanku dalam “mencipta” karya-karya lukisku. Bahkan setiap ide-gagasan yang terlintas dalam kepalaku sekaligus segala yang terserap dalam indera rasaku yang kemudian aku implementasikan dalam karya lukisan, aku pikir mustahil bisa lepas dari kuasa-kehendak-ijin Allah.
Dengan begitu maka kesadaran untuk ingat Allah dalam setiap perbuatan fisik dan mental, termasuk proses melukis sehingga karya lukisan tercipta adalah wajib, meng-ingat Allah dengan melibatkan kesadaran diri adalah ber-dzikir.
Apapun yang berdzikir maka ia hidup, sekalipun ia teridentifikasi secara keliru sebagai “benda mati” misalnya batu, kayu, gunung, air dan sebagainya. Sebaliknya, ketika manusia tidak lagi memiliki kesadaran untuk ingat Allah, secara esensial ia sesungguhnya telah mati, esensi dirinya cuma mayat berjalan.
Semua “objek” yang tampil dalam karyaku sesungguhnya mereka berdzikir, pun mereka secara esensial telah menjadi subjek, dan posisiku hanyalah entitas yang merangkai dalam kreasi estetik karya seni rupa yang disebut “lukisan”. Dan pada saat aku berproses melukis maka alat-bahan dan material seni yang aku gunakan dalam melukis tentu terlibat dalam upaya mengingat Allah, aktifitas berdzikir.
Maka seperti halnya Rumi yang menari sambil berdzikir, aku pun demikian melukis sambil berdzikir, dan karya lukisan yang aku hasilkan pun menjadi entitas yang berdzikir.
Bukankah setelah karya seni tercipta ia berubah menjadi subjek mandiri seperti seorang bayi yang terlahir dari “rahim” seniman? Semoga karya-karya dzikir ini bermanfaat.
Salam Budaya!
Gunung Wangi Jogja, Purnama 19 Agustus 2024
Arik S. Wartono