Penulis📰✍️ Djuli Djatiprambudi
BN News – Kata ‘pameran’ (exhibition) tampaknya menjadi kosa kata paling penting di dunia seni rupa. Perupa tanpa pameran tampaknya terasa aneh, karena itu setiap parupa punya keinginan kuat mengikuti pameran bersama (group exhibition) atau menyelenggarakan pameran tunggal (solo exhibition). Melalui pameran, dipercaya oleh sebagian besar perupa akan menemukan momentum kebermaknaan karyanya di medan seni rupa (art world). Karya seni (artwork) memerlukan publik (penikmat seni) yang, hadir atau dihadirkan di suatu ‘ruang’ yang dianggap representasi medan seni rupa.
Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, bermacam penikmat seni yang hadir akan memproduksi dan mereproduksi makna seni berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan cita-rasa estetiknya masing-masing. Karena itu, makna seni sesungguhnya tak selalu signifikan dapat dirumuskan dalam konteks terbatas, baku, dan konvensional.
Makna seni (meaning of the art) akan terus-menerus hadir secara dinamis, cair, dan saling dipertukarkan atau dinegosiasikan dengan relasi-relasi sosio-kultural yang tidak sederhana. Maknanya terus-menerus berproses secara kontinum, diproduksi terus-menerus oleh penikmat seni secara luas dari warktu ke waktu dan dari ruang ke ruang. Maka, apabila perupa sering menampilkan karyanya di suatu pameran seni (art exhibition), jejak-jejak narasi di seputar karyanya akan tercatat di medan seni rupa. Karyanya akan menjadi memori dan pengetahuan publik seni (art society).
Dari sinilah pengahargaan publik seni atas karya-karya perupa terbentuk dan selanjutnya membentuk lapis-lapis kesejarahannya. Sementara itu, dua dekade terakhir ini semakin santer diisukan medan seni rupa semacam galeri seni rupa (art gallery), museum seni rupa (art museum), pusat seni (art centre), dan lain sebagainya ditengarahi kehilangan kewibawaannya. Medan seni rupa dinilai telah tamat otoritasnya dalam memposisikan dan mereposisikan perupa dalam garis orbitnya di medan seni rupa.
Kondisi ini ditengarahi oleh Robert C. Morgan (1998) sebagai berakhirnya medan seni rupa (the end of the art world). Medan seni rupa telah kehilangan kekuatan politisnya dalam bernegosiasi dalam medan wacana seni (art discourse) dan medan pasar (art market).
Sinyalemen berakhirnya medan seni rupa tersebut seakan menambah daftar panjang dari sinyalemen yang bernada kurang lebih sama, yang riuh pada dekade 1990-an; seperti matinya pengarang (Barthes, 1977), bangkrutnya modernisme (Foster, 1985), berakhirnya teori seni (Burgin, 1986), berakhirnya ideologi (Bell, 1988), dan berakhirnya subjek (Foucault, 1989).
Berbagai sinyalemen tersebut dalam konteks barat, yang medan seni rupanya berlangsung secara simetris ( dalam arti medan wacana dan medan pasarnya berlangsung progresif, dialektik, simultan, dan tervalidasi terus-menerus dalam sains dan tradisi riset yang sangat memadai ( sinyalemen tersebut cukup mudah dipahami duduk perkaranya.
Berbagai sinyalemen tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan rentetan dari pembacaan ulang secara kritis atas hegemoni modernisme, baik dalam pengetahuan, metodologi, praksis, dan implikasi aksiologisnya. Modernisme yang telah melahirkan proyeksi sejarah seni rupa modern (modern art) di berbagai penjuru dunia, dipercaya sebagai ‘kebenaran’ tunggal dalam memahami seni rupa modern.
Kondisi itu, kini tidak lagi menemukan relevensinya secara signifikan. Proyek modernisme telah dianggap gagal dan hanya menerbitkan utopisme di dalam medan seni rupa. Kini, kondisinya berbanding terbalik. Perupa, medan seni rupa, dan wacana yang menyertainya telah memasuki ‘dunia lain’, yaitu kondisi post-modern. Dunia baru ini jauh lebih menantang, karena dia hadir sebagai anti tesis modernisme. Kata Morgan, kondisi post-modern memicu perupa menemukan kembali transmisi dorongan kreatif (to rediscover the transmission of the creative impulse). Perupa sekarang, tegas Morgan menjadi terlibat secara sosial dan politik bukan dalam keadaan terisolasi dan terjangkit paranoid kultus (elitis) sebagaimana terjadi dalam seni rupa modern.
Sikap elitis dalam kondisi modernisme itu dalam banyak hal juga rentetan dari makna dialektik fungsional (functional dialectical means) di medan seni rupa. Namun, setelah memasuki kondisi post-modern, makna dialektik fungsional seperti yang pernah dimiliki galeri seni rupa, misalnya, kini dianggap tidak ubahnya sekadar ruang pamer karya seni semata, tidak lebih dan tidak kurang. Galeri seni rupa semakin dimaknai miring, karena tidak memiliki signifikansi pada proses pemaknaan dan rekognisi publik seni kepada seniman dan karyanya. Hal itu diperkuat dengan semakin rontoknya wibawa kritik seni (art critic), kuratorial seni, dan majalah seni (art magazine), karena ‘lembaga-lembaga’ tersebut kehilangan relasinya dengan ruang seni (art space) lainnya yang sama-sama terkondisi minus otoritas. Benarkah medan seni rupa (art world) telah dalam kondisi megap-megap? Bila ini telah menjadi fakta yang tak terbantahkan, mengapa para perupa masih tampak getol berpameran seni rupa di sejumlah titik medan seni rupa yang dianggapnya memiliki otoritas?
Sementara itu, isu yang terasa menggoyang posisi medan seni rupa boleh jadi hanyalah isu semata yang kurang didukung kenyataan di medan seni rupa sesungguhnya. Untuk mengeceknya, tentu kita perlu sering terjun ke banyak pameran seni rupa yang belakangan ini justru semakin massif digelar di banyak geleri seni rupa dan ruang seni lainnya. Sejumlah pameran seni rupa berskala lokal, nasional, dan internasional datang silih berganti di sejumlah kota. Jumlah perupa juga semakin banyak wajah-wajah baru. Mereka hadir di banyak pameran dengan mengusung kejutan-kejutan ‘baru’ dalam ekskusi karyanya. Di situ tak pelak lagi kita sering menemukan karya seni rupa yang memperlihatkan eksplorasi dalam format transmedia, transestetik, transmetode, translingual, dan transkultural.
Gejala terakhir itu, tak bisa disangkal sebagai gejala yang menarik untuk dicermati. Perupa sekarang (contemporary artist) memiliki metode kreasi yang tidak lagi linier semata. Mereka bebas mencampur-aduk berbagai metode kreasi dengan berbagai ranah sumber kreasinya. Perupa tidak lagi terkurung sendiri (soliter) dan berdialog dengan dirinya sendiri (solilokui), namun mereka kini lebih mengandalkan dialog, observasi, partisipasi, dan kolaborasi. Kondisi ini, bukan berarti perupa yang bekerja secara individual dan tetap setia sepenuhnya dengan otoritas estetiknya, lantas kita kelompokkan sebagai perupa konvensional. Hal demikian tentu tampak menyepelekan unikum estetik yang tersembunyi di dalam masing-masing figur perupa, dalam konteks modernisme ditengarahi sebagai sumber aura estetik.
Pameran ini hadir di tengah hiruk-pikuk kondisi post-modern yang sesungguhnya dipraktikan dalam situasi ambigu secara luas. Perupa bersama medan seninya pun juga terkondisi dalam tantangan perubahan besar dalam era digitalitas dan virtualitas, selain kondisi yang telah dijelaskan di atas. Maka, pameran ini perlu didudukan kebermaknaannya dalam kondisi seperti itu.
Pameran ini menghadirkan 10 perupa dari sejumlah kota; Surabaya, Gresik, Magelang, Klaten, Yogyakarta, Jakarta, dan Tulung Agung. Karya-karya yang diusung cukup beragam; seni lukis, seni fotografi, seni patung, seni instalasi. Tentu saja, karya 10 perupa tersebut membawa puspa-ragam unikum estetis masing-masing yang menarik. Cobalah tengok karya Ariel Ramadhan (lahir 1999), yang mengajak merefleksikan dunia bawah laut, yang dihuni rupa-rupa organisme dan biota laut yang indah penuh warna, tetapi menyembunyikan kepunahan yang mengancamnya.
Arik S. Wartono (1974), hadir dengan karya astrofotografi yang elegan. Karyanya bukan sekadar foto panorama langit di waktu malam yang ditaburi benda-benda langit. Tetapi, lebih dari itu, karyanya merefleksikan perjumpaan spiritualnya dengan Sang Maha Pencipta yang membentangkan alam semestanya yang tak terjangkau oleh indera manusia.
Berbeda dengan karya Daniel Timbul (1981), yang memamerkan kecakapannya dalam seni grafis dengan teknik cukilan yang rapi, tetapi karyanya tidak kehilangan ekspresi dan kedalaman. Heru Siswanto (1979), hadir dengan karya tiga dimensional berupa seni patung berbahan fiber-resin, yang digarap secara rinci, plastis, dan meninggalkan jejak ekspresi serta bentuk realistik yang kuat.
Sementara Katirin (1967), perupa yang telah malang-melintang di berbagai peristiwa pameran di dalam dan di luar negeri, tetap menjaga staminanya dalam kekuatan sapuan kuas yang rius-terkendali, membentuk citra abstrak yang membebaskan imaji kita mengenai segala hal.
Kemroden Haro (1966), hadir dengan karya tiga dimensional yang mengeksplorasi material sedemikian menarik secara visual dan konseptual menjadi gugusan makna terhadap sesuatu. Ray Bachtiar Dradjat (1959), menyuguhkan karya fotografi dengan teknik kolase dengan adobe photoshop, sehingga melahirkan citra visual yang saling menumpuk secara transparan.
Sedangkan Sugiyo (1970), memperlihatkan seni lukis dengan eksplorasi bentuk deformatif yang kaya, detil, dan terasa kubistik. Di dalam karya lukisnya itu, kita seolah diajak menikmati kecakapannya dalam eksplorasi garis, bidang, warna, dan ruang. Di pihak lain Suranto Kenyung (1980), mengeksplorasi ratusan bata mini berukuran 24 x 12 x tebal 5 mm menjadi susunan bentuk-bentuk silindris yang ukurannya bervariasi. Citra bentuk itu lantas menghadirkan imaji tentang sesuatu yang dibingkai dalam tajuk “Hutan Kota”. Dalam pameran ini, kita juga menyaksikan karya terkini Cipto Purnomo (1983), yang cukup menarik.
Kehadiran pameran bertajuk “Merdeka” ini konteknya bersamaan dengan momentum “Agustusan”, bukan berarti karya-karya yang dipamerkan merefleksikan situasi “Agustusan”. Tetapi, menurut hemat saya, di balik kata “Merdeka” itu tersembunyi hasrat dan energi kreatif yang tidak ingin terkurung ke dalam medan seni rupa yang tengah dalam kondisi ambigu, yang tidak terjaga oleh medan wacana yang sehat, riuh, dan kritis. Meskipun demikian, perupa tetap, Merdeka! ***
*) Penulis dan peneliti seni rupa