Penulis📰✍️ Yaksa Agus
BN News – “Wahai seniman muda! Kalau adalagi pada dadamu sedikit dari darahmu yang membawa angan-angan dari Dewi Kesenianmu itu, mari tinggalkanlah dogma kamu ala turisme itu. Putuskanlah rantai yang membelenggu kemerdekaan darahmu tadi untuk memberi tempat memelihara benih garuda yang besar dan bersayap kuat, yang bisa membawa kamu ke langit yang biru, melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang, matahari yang diciptakan oleh Tuhanmu” ( S.Sudjojono ).
Kalimat Bapak Seni Lukis Modern yang provokatif ini mungkin tak sampai pada generasi hari ini. Susunan kalimat yang normatif ini, masih cukup relevan jika digunakan untuk mengulas kemerdekaan atau kebebasan berkreasi, puluhan tahun terselip di antara buku-buku sejarah yang lusuh dan dimakan rayap. Kemerdekaan dalam berkreasi, berkarya dengan membebaskan imajinasi dan hasrat keinginan tentu saja sudah sekian lama dibelenggu oleh pengetahuan itu sendiri. Bahkan terkadang sebuah keinginan seringkali dibatasi sendiri, bahkan dipupus oleh seniman, dengan berbagai alasan. Berkreasi adalah sebuah proses yang didominasi otak kanan. Dan kemerdekaan berkreasi terbelenggu apabila ketika keinginan yang muncul dalam alam bawah sadar melalui otak kanan seorang seniman tidak lagi dominan dan digantikan oleh dominasi otak kiri yang mengutamakan realitas.
Pada tahun 1950-1960-an, di Indonesia mulai tumbuh sanggar seni rupa, hingga muncul intitusi pendidikan seni rupa. Kemudian pada tahun 1980-1990-an tumbuh komunitas atau kelompok seni rupa, dengan berbagai macam semangat yang melatarbelakangi. Dari tahun 50-an sampai saat ini, ada yang menarik untuk dibahas mengenai seni rupa ini, yakni Social skill dalam dunia seni rupa hari ini tidak lagi menjadi bagian penting lagi.
Padahal yang membedakan pertumbuhan sanggar/komunitas/kelompok seni rupa tentu adalah perbedaan pandangan dan ideologi yang melatarbelakangi dibentuknya sebuah kelompok seni rupa. Fenomena yang terjadi hari ini adalah: sebuah kelompok seni rupa dibentuk, dan berlanjut membuat pameran. Begitu instan. Banyak pameran digelar, dibumbui dengan tema-tema yang filosofis atau antropologis, akan tetapi nyaris tak jauh beda antara satu pameran dengan pameran yang lain. Lantas apa yang kemudian melatarbelakangi gagasan dan wacana yang akan ditawarkan kepada publik? Ini yang banyak tak terjawab dari kelompok-kelompok seni rupa hari ini.
Hari ini sepuluh perupa dari berbagai genre, dan juga perbedaan usia, mengusung nama Kelompok Merdeka sebagai nama kelompok mereka, yang terdiri dari Katirin, Sugiyo, Ariel Ramadhan, Arik S Wartono, Ray Bachtiar Drajat, Cipto Purnomo, Daniel Timbul, Heru Siswanto, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung. Besar harapan jika kelompok ini akan terus konsisten berkarya dan menwujudkan kemerdekaan dalam berkarya.
Dalam pameran ini, saya menuliskannya judul tulisan saya dengan kata “Mer(d)eka”–dengan memberi tanda kurung pada huruf ‘d’—karena saya lebih menggarisbawahi “karya-karya mereka dan seperti apa kata mereka, yang disampaikan melalui bahasa visual masing masing”. Bagaimana mereka menghadirkan “tanda” yang berupa konsep dari karya, dan juga “penanda” yang berupa unsur yang terasa pada karya mereka.
Kata Merdeka dalam bahasa Sansekerta, adalah maharddhika, sementara dalam bahasa Jawa, disebut mardika yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat–bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Dalam kata bahasa Indonesia, merdeka bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen. Di Kepulauan Nusantara, istilah ini juga berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan), berdiri sendiri, yang dibebaskan.
Atas nama Bangsa Indonesia, para Proklamator menyatakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, dan menjadikan bangsa ini memiliki kemerdekaan, dengan karakter dan spirit bangsa sendiri. Muncul pertanyaan, kedudukan seniman sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, dan pada masa Soekarno mendapat tempat istimewa, apakah mampu berkarya dengan rasa merdeka? Ataukah belenggu ketakutan dan ketidakpastian justru diciptakan sendiri dan diamini bersama—dan sepuluh perupa yang mengikatnya dalam Kelompok Merdeka akan menjawab pertanyaan itu melalui karya yang dipamerkan di Jogja Gallery, 15- 29 Agustus 2024 ini, yang mana antara seniman satu sama lain saling tidak ada keterkaitan. Masing masing bebas bebas menawarkan gagasan tanpa harus dibatasi sekat-sekat tertentu, tema yang mengikat, atau kuratorial yang ketat.
Katirin, perjalanan kekaryaannya jelas dan mudah ditelusuri, dimulai dengan menghadirkan figur-figur yang dilukiskan dengan cat minyak dengan teknik transparan di awal kariernya tahun 1990-an yang mampu mencuri perhatian kala itu. Kemudian permainan skill melalui brushtsroke cat minyak secara tebal-tebal, mengekspos gerak dan gestur tubuh. Dari sana jejak artistik dan estetiknya terus berevolusi secara alami hingga hari ini, luapan dan pengendapan hadir di setiap ekspresi yang dilukiskannya.
Tak jauh beda dengan Sugiyo, sejak mahasiswa karyanya mencolok dan selalu jadi pusat perhatian. Ia banyak memenangkan kompetisi seni lukis. Ketertarikan pada deformasi kebentukan dengan sentuhan warna matang, dan seni lukis dekoratif mampu mnjadi identitas akan karya-karyanya yang memiliki kekhasan gaya yang dipertahankan dan dikembangkan dengan tanpa beban. Dengan menggunakan media apapun, Sugiyo mampu memanfaatkan untuk menghadirkan cita rasa artistik.
Ariel Ramadhan, pelukis paling muda dalam kelompok ini hadir dengan karya yang kekanak-kanakan. Dunia bahagia dalam lukisan anak-anak dipinjam, atau diteruskan untuk cara berkaryanya. Mungkin ia masih terbawa kebiasaan saat menjadi pelukis anak-anak. Adakah keinginan dalam berkarya, untuk berani membebaskan diri berkarya secara merdeka dengan mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Atau berani menunjukkan perkembangan teknik, pemikiran, gagasan hingga ekpresi murni dari anak-anak, remaja hingga dewasa.
Sementara Arik S Wartono, selain berkarya juga mengelola sanggar seni. Pada kesempatan ini lebih memilih menggambar lewat cahaya, yaitu dengan meminjam sesuatu yang dilihatnya kemudian diabadikan lewat kamera. Dengan kemampuan teknis foto, dari pengaturan cahaya, diafragma, hingga kecepatan, apa saja yang dianggap mewakili imajinasinya terwakili oleh mata kamera.
Sedikit berbeda dengan karya Ray Bachtiar Drajat. Salah satu peserta pameran ini yang juga menghadirkan karya fotografinya, ada yang murni dengan pencapaian kematangan teknis fotografi. Mata batinnya mampu menngerakkan mata kamera dalam memilih setiap objek yang dihadirkan. Tetapi Ray juga menghadirkan karya foto dengan sentuhan kolase dengan adobe photoshop, untuk kepanjangan dalam meraih rasa artitik yang diinginkan.
Cipto Purnomo, seorang pelukis yang juga berkarya patung, yang punya kecakapan teknis dalam menghadirkan objek-objek imajinatif yang mewakili gagasannya. Nuansa surealistik dan sentuhan tradisi menjadi perwujudan ide-ide yang hadir dalam setiap lukisannya. Rupanya Cipto punya sisi menarik untuk dicermati dan diulik setiap karyanya, di mana sesungguhnya ia seperti menghadirkan pijakan pada budaya Jawa, tetapi boleh jadi dia punya pandangan tersendiri akan makna adiluhung kejawaannya.
Beda lagi dengan Daniel Timbul, perupa yang memiliki cita rasa artistik, dengan idiom-idiom seni pop karyanya nampak menunjukkan jika dirinya seorang penggelisah. Terbiasa dengan cara berbikir terbalik. Dengan tema-tema lokalitas, timbul menyelipkan nasehat hidup masyarakat Jawa. Kematangan teknis yang dihadirkan lewat ekspresi cukilan kayu hingga dicetak, semacam mentransfer gagasannya. Narasi dalam karyanya lebih berupa pemaparan akan pengetahuan, pengalaman, dan yang sedang dilakukan hari ini.
Tak jauh beda dengan Heru Siswanto, karya-karya patungnya lebih tertarik pada seni tradisi di Jawa. Tetapi lebih spesifik dari lingkungan kehidupannya, yaitu kawasan Kasongan, kawasan industri gerabah. Dan ada upaya untuk menghadirkan semangat dan energi tradisi yang paling dekat dengan kehidupannya. Bahan karya-karya tiga dimensinya seringkali mengeksplor dari apa yang ada di sekitarnya. Spirit kampung halaman dengan sejarah masa lalunya hingga pada perkembanggannya hari ini, adalah yang menjadi bagian dari eksplorasi dan idea akan karya-karyanya.
Komroden Haro, karya-karya patungnya seringkali secara simbolik, lugas, dan simpel, tetapi karya patungnya dibuat dengan penuh pertimbangan. Komroden memiliki kemampuan memainkan adegan dan simbolik di setiap karyanya. Sehingga tampak dalam karya patungnya tidak sekadar bermain artistik, tetapi ada kesadaran untuk sekadar mengajak sedikit megernyitkan dahi. Sejenak berpikir.
Suranto Kenyung, karyanya cukup unik. Ia mengeksplorasi bentuk batu bata, namun dibuat berukuran kecil. Bahkan batu bata dibuat–dari mencetak dan membakar tanah hingga menjadi batu bata–menggunakan cara tradisional. Persis seperti orang membuat batu bata pada umumnya di kampungnya, Nitiprayan, masa lalu. Yang menjadi menarik, batu bata berukuran mini, sebesar kue biskuit itu disusun seperti bermain puzzel menjadi sebuah bentuk bentuk baru. Kenyung bukan sekadar mengikuti intuisi, dan membiarkan rasa main-main menuruti imajinasinya.
Pameran Kelompok Merdeka ini sebenarnya cukup menarik. Pertama karena menjadi sebuah peluncuran perdana nama sebuah kelompok seni rupa; kedua, pameran ini menjadi perlu diapresiasi, karena melibatkan seniman multi daerah, yakni dari Jogja, Jawa Timur, dan Jakarta. Nama Kelompok Merdeka diambil sebagai reaksi atas kegelisahan praktek seni rupa sekarang ini, yang melaju bebas. Berkreasi tanpa ada hambatan berupa kritik dan narasi pasti. Hal menarik lagi dari Kelompok Merdeka ini adalah pameran perdana dilaksanakan bertepatan dengan Bulan Kemerdekaan RI yang saat ini menginjak usia 79 tahun.
Mari kita saksikan dan apresiasi bersama karya-karya yang dipamerkan ini oleh kelompok ini. Sebagai penutup, “ketika sebuah karya sudah hadir di tengah tengah masyarakatnya, melalui sebuah pameran, setiap karya tentu memiliki kekuatan untuk menunjukkan jati diri para senimannya.
Dengan harapan, gairah gagasan dan pesona visual menjadi suatu ramuan atau perpaduan sebuah tontonan yang memiliki daya gugah”–menggugah rasa kemerdekaan dalam mengapresiasi sebuah pameran. Daya gugah Mer(d)eka yang disematkan melalui pameran ini setidaknya tidak sekadar sebagai sindiran, tetapi juga saling mengkritik satu sama lain, dan juga menggugah kemampuan otokritik.
Pameran ini setidaknya menjadi sebuah upaya untuk menjawab kegelisahan publik, apakah kebebasan sebuah keinginan-keinginan seringkali dipupus oleh manusianya sendiri, tak terkecuali seniman. Sehingga medan sosial seni rupa pada dewasa ini masih dianggap sebagai pertunjukan sulap dengan memanipulasi visual disajikan untuk para apresian/pemirsanya.
Studio Bodo, 1 Agustus 2024
Yaksa Agus
Penulis yang fitrah sesungguhnya pelukis.