Penulis📰✍️ Arik S. Wartono
Akhir September hingga pertengahan Oktober tahun1965, langit fajar Indonesia dengan jelas menyaksikan lintasan Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1), yang disebut sebagai salah satu komet paling terang pada abad ini. Sastrawan Ahmad Tohari mengabadikan moment ini dalam salah satu novelnya yang terkenal “Lintang Kemukus Dini Hari” (terbit tahun1985).
Sekarang akhir September hingga 6 Oktober 2024 langit fajar Indonesia kembali dilintasi koment atau lintang kemukus, yakni Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS).
Memang Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) tidak seterang Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1), namun momentumnya sama persis, dan semua orang bisa menyaksikannya dengan mata telanjang ketika fajar hingga selepas subuh sampai sekitar pukul 4.30 atau maksimal 5.00 WIB. Hanya saja untuk menyaksikan Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) sebaiknya dilakukan di lokasi yang minim polusi cahaya, bisa di gunung atau pantai yang jauh dari lampu pemukiman penduduk, muncul pada sisi langit timur, tepatnya +10° dari langit timur, Magnitudo visial +1,55 hingga +1,46 (semakin rendah Magnitudo visual semakin cerah) .
Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS)
ditemukan oleh Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System (ATLAS) pada 22 Februari 2023 dan juga diamati secara independen beberapa minggu sebelumnya pada Januari 2023 di Observatorium Tiongkok Tsuchinshan (Observatorium Purple Mountain dari Chinese Academy of Sciences). Sebutan resmi mencakup Tsuchinshan dan ATLAS karena pengamatan independen ini. Orbit retrograde-nya, yang berarti bergerak berlawanan arah dengan sebagian besar objek tata surya utama, seperti parabola dengan jarak perihelion 0,39 unit astronomi (AU). Komet C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS) terkenal dan diamati secara aktif karena, berdasarkan estimasi saat ini, ia dapat menjadi cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang selama lintasan perihelionnya antara September dan Oktober 2024.
Lintang Kemukus ini masih bisa dilihat dengan mata telanjang sampai tanggal 6 Oktober 2024. Fajar saat subuh, maksimal jam 4.30 atau kalau beruntung bisa sampai jam 5.00 WIB
Alam selalu bergerak mencari keseimbangan, tentu ada siklusnya. Begitu pula siklus kelahiran dan kematian serta segala hal yang menyertainya, semua memiliki penanda. Akan selalu ada yang datang dan pergi dalam dunia kosmik, makro dan mikro kosmos.
Pergerakan benda-benda langit tentu merupakan fenomena alam yang berjalan sesuai siklusnya: gerhana, kesejajaran antar planet, komet, nova, supernova, blackhole dll, telah dimaknai dan direspon dalam berbagai cara oleh peradaban umat manusia sepanjang sejarah evolusi.
Tentu sah-sah saja manusia modern-postmodern melihat semua ini sebagai hal yang biasa tanpa perlu dimaknai apapun selain estetika kosmik.
Namun mengabaikan setiap penanda alam sebagai bagian penting dari siklus kosmik bisa disebut sikap sembrono, karena Rasulullah bahkan mengajak umatnya sholat setiap kali terjadi fenomena gerhana matahari dan bulan, sebagai wujud respon atas kuasa Allah dalam setiap siklus alam.
Tahun 1965 saat Komet Ikeya-Seki (C/1965 S1) melintasi langit Asia, yang di Jawa disebut dengan istilah “lintang kemukus” pada akhir September sampai pertengahan Oktober 1965, semua generasi lampau kemudian tahu apa yang terjadi setelah penanda alam ini.
Awal Oktober 2020 langit Bojonegoro-Tuban kembali dilintasi oleh bintang dengan ekor berwarna kemerahan, yang sebenarmya itu adalah bagian dari hujan meteor Draconid yang berlangsung dari 6 hingga 10 Oktober 2020. Saat itu para buzzer malah tertawa mengejek ketika penanda alam dimaknai dengan cara apapun di luar konteks fenomena alam biasa. Setelah itu semua orang tahu apa yang terjadi dengan wabah virus corona atau Covid-19, banyak orang yang kemudian kehilangan anggota keluarganya.
Setiap siklus alam menjadi penanda bagi kakuasan Allah, tentu lebih arif jika menandainya dengan cara yang bijaksana.
Foto ini diambil pada fajar 30 September 2024 pukul 4.05 WIB menggunakan kamera Nikon D810 lensa 70-200mm.
ISO 3200
f2.8
10 Detik
LOKASI:
Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia
*Foto dan Teks oleh Arik S. Wartono