Penulis📰✍️ Anang Prasetyo
“…inventivitas menjadi pola dasar bagi hakekat seni. Ini berarti, kesenian dapat membuka wawasan kita terhadap dunia nyata (fenomena) , bahkan sampai menerobos kulit gejala (noumena)”
( Djuli Djatiprambudi,hal 12)
Pagi ini , saat mengajar di depan kelas, tangis saya pecah. Saya terisak. Air mata mengalir deras. Bukan karena sedih. Lebih kepada rasa haru. Sebab saya tiba – tiba teringat memori saya sendiri. Dimana melukis bunga di ulang tahun istri beberapa tahun silam. Semua lukisan bunga laku terjual tanpa menyisakan untuk istri saya. Padahal aslinya itu hadiah untuk ulang tahunnya.
Jujur, demi melihat beberapa anak yang terisak saat menggambar , akhirnya saya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh anak – anak.
Bahkan tak tanggung – tanggung , saya menangis sedu sedan di dua kelas yang berbeda.
Saya ikut larut dalam suasana keharuan dan kebahagiaan. Perasaan itu tiba- tiba saja datang. Padahal gambar anak – anak aslinya, adalah menceritakan kisah bahagia mereka. Ya pagi ini mereka menggambar dengan memori bahagia mereka. Sebuah model pembelajaran yang memadukan neurologi (menyetelkan musik ke gelombang alpha), psikologi berupa pengalaman bahagia anak, spiritualitas dengan mengajak mereka bersyukur kepada Tuhan atas nikmat kebahagiaan dalam hidup yang mereka alami. Secara fisik,saya ajak relaksasi, meditasi agar jiwanya tenang dan bahagia. Memadukan pula aspek menggambar sebagai seni dan kreatifitas , serta aspek edukasi lainnya.
Untuk kali kedua saya menangis haru saat mengajarkan menggambar dengan memori bahagia ini. Yang pertama, dulu sekian tahun lalu, saya ikut larut dalam ceritera anak. Dimana ada anak yang bertutur secara lisan di depan kelas, menceritakan kisah bahagianya.
Awalnya memang bahagia tapi akhirnya menjadi kisah yang mengharu biru. Betapa tidak. Gambar yang dibuat anak disitu menceritakan ada satu anak yang dipegang tangan kanannya oleh bapak, sementara tangan kirinya dipegang ibunya.
Saya bertanya , bukankah itu kisah bahagia ? Iya mengangguk pelan. Namun, saya terkesiap, seluruh ruangan hening. Anak itu melanjutkan kisahnya, “itu adalah kisah bahagia saya terakhir , sebab setelah itu bapak dan ibu saya berpisah”.
Saya dan seluruh kelas termenung , hening , diam dan akhirnya ikut menangis secara bersama. Alamiah dan natural tanpa dibuat – buat. Empatik saya rasa.
Kali kedua ini, saya yang .menangis sedu sedan. Sebab, dengan melihat anak yang terus menangis saat menggambar, saya jadi ikut merasakan keharuan. Ditambah dengan gambar anak yang berulang tahun pertamakalinya, yang dirayakan oleh bapak dan ibunya. Yang biasanya mereka lupa. Anak itu menceritakan dengan terbata- bata. Seperti tercekat tidak mampu mengisahkan dalam lisan.
Sampai dia duduk dia masih menangis. Sembari ditepuk tepuk pundaknya oleh teman disampingnya duduknya. Selurh isi kelas ikut merasakan keharuan dalam kebahagiaan.
Sejurus kemudian saya meminta maaf kepada anak- anak kalau saya ikut menangis. Sebab saya , juga ingat kisah saya yang melukis bunga ditunggui istri, untuk memberinya lukisan bunga sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tatkala saya menceritakan kisah itulah saya tiba – tiba terisak. Saya menjadi menangis haru. Ingat betapa belum bisa membahagiakan istri dengan baik.
Maka demikianlah, pembelajaran hari ini, edisinya adalah tangis dan bahagia. Sebab saat mengajar saya menjadi belajar, bahwa setiap disentuh rasa bahagia, yang hadir kadang justru tangisan. Tangis dalam kebahagiaan sepertinya..
Jangan dilihat, betapa bagusnya gambar – gambar mereka. Sungguh ekspressif. Seolah ia memiki jiwa. Gambar itu seolah hidup dan mampu bercerita. Inilah jiwo ketok seperti kata pelukis S. Soedjojono. Gambar dengan media ballpoint diatas kertas, tepatnya di buku diary seni yang mereka buat tiga bulan lalu. Disitulah semua karya gambar dan materi pembelajaran mereka tuliskan dan sebagian gambarkan.
Saya ingat dengan perkataan Filosuf Agung muslim yang dimiliki ummat Islam abad ini, dialah Syed Muhammad Naquib Al Attas. Mengatakan dalam bukunya Islam dan Sekulerisme, halaman 93 sebagai berikut ” kebahagiaan itu berhubungan dengan kepastian akan kebenaran utama dan terpenuhinya perbuatan yang sesuai dengan kepastian tersebut, dan kepastian adalah suatu keadaan tetap mengikut apa yang tetap pada manusia dan yang ditangkap oleh organ spiritual yang dikenal sebagai hati ( al qolb). Ia adalah kedamaian dan keamanan serta ketenangan hati”.
Bukankah kisah bahagia adalah suatu hal benar dan kepastian yang pernah terjadi dalam diri anak – anak itu.
Dan hal itu merasuk dalam hati serta kesyukuran kepada illahi.
Sampai disini, akhirnya lagi – lagi saya tertunduk. Hati saya menjadi haru. Sebab menggambar memori bahagia yang bukunya saya tulis di tahun 2016, hari ini saya merasakan bahwa kebermanfaatan ilmu itu bukan hanya untuk anak -anak saja. Saya yang menulisnya, ikut merasakan manfaaat secara immateri dan nilai spiritualitas pula.
Sebab, bukankah menggambar memori bahagia yang hari ini gambar dan anak-anak rasakan, itu adalah pengalaman yang membahagiakan pula ?
Dan itu akan terekam dalam memori serta jiwa anak – anak itu kelak. Membekas dalam jiwanya. Karena semua syaraf sensorik terlibat.
10 atau 20 tahun lagi, barangkali , gambar itu akan menjadi kisah yang membahagiakan mereka. Mereka akan ceritakan kepada anak dan cucunya kelak. Bahwa itulah gambar bahagianya dan itulah gambar pertama kali yang ia hasilkan.
Duhai betapa membahagiakannya.
Lalu anak – anak itu menjadi ingat dengan guru yang mengajarinya, lalu membacakan fatihah kepada guru yang, bisa jadi, sudah meninggal dunia..
Maka, sabda Nabi Muhammad , laa tah qironna minal makruufi syaian, jangan kamu meremehkan sebuah kebaikan sekecil apapun itu. Gambar, boleh jadi remeh temeh. Namun jangan – jangan ia menjadi pintu pembuka kebahagiaan, kesyukuran, dan rasa terimakasih kepada sesama. Persis seperti kata pembuka Djuli Djatprambudi diatas, bahwa kesenian ( baca: menggambar) dapat membuka wawasan kita terhadap dunia nyata ( fenomena kisah bahagia) bahkan sampai menembus kulit gejala ( noumena : rasa syukur dan kebahagiaan dalam jiwa).
Wallohualam bis showab.
Tulungagung, Selasa 22 Robiul awal 1446 / 24 September 2024
( penulis adalah guru seni di SMKN 1 Boyolangu Tulungagung. Penulis buku Menggambar dengan Memori Bahagia. Trainer Aktivasi Memori Bahagia di Komunitas Padhang Njingglang )
Sumber bacaan :
1. Tinjauan Seni. Djuli Djatiprambudi. Penerbit UNESA Unversity Press, 2003
2. Islam dan Sekulerisme. Syed Muhammad Naquib al Attas. Cet kedua. Penerbit Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan. Bandung 2011.