Penulis📰✍️ Anang Prasetyo
BN News – Saya menulis buku berjudul Menggambar dengan Memori Bahagia di tahun 2016. Harapannya, secara ide, anak – anak tidak lagi menggambar dua gunung dengan matahari di tengah. Secara psikologis agar anak – anak menjadi pribadi yang bahagia. Secara internal motivation Tumbuh kepercayaan diri. Secara psikomotorik tidak menghapus gambar dengan memakai penghapus lagi.
Atau jangan sampai anak – anak mengatakan dengan muka sedih , gambarku jelek, aku tidak bisa menggambar. Dan seterusnya.
Sebab, bukankah menggambar itu sendiri aslinya adalah kegembiraan, keriangan dan swkaligus sarana komunikasi anak ?.
Lihatlah saat anak kecil melakukan ‘demontrasi’ dengan mencorat coret dan mencoreng morengi permukaan tembok. Yang ada hanya kegembiraan. Bahkan terkadang terlihat khusyuk dan sangat serius. Tanpa takut salah. Hatta tidak merasa ada dosa dan penyesalan sama sekali kepada Tuhannya. Murni kegembiraan dan mungkin curhatan dirinya. Curhat kepada tembok atau siapapun yang mau melihat gambarnya.
Kecuali kalau orang tua kemudian membentak dan memarahinya. Tentu ini menjadi lain soal.
Hingga kemudian disuatu waktu, untuk kepentingan training , pelatihan, atau workshop, agar sedikit menarik muncul ‘branding’ dengan istilah Training AMB. kepanjangan dari Aktivasi Memori Bahagia. Bahwa memori bahagia kadang harus diaktifkan oleh orang lain. Harapannya sama. Agar anak – anak teraktifkan memori bahagianya, sehingga dia bahagia kembali dan sekaligus mengenang kebahagiaanya itu dengan penuh kesyukuran kepada Tuhan.
Juga , sekaligus agar hal itu menjadi sesuatu hal monumental yang memorabel hidup ,yakni kegembiraan dan kesenangan.
Atau apapun saja, barangkali ada hal – hal kecil yang tak bisa diwujudkan dengan kata – kata, namun bisa terwujud dalam bentuk gambar.
Disclaimer buku itu sendiri, adalah bahwa ada 8 induk kecerdasan emosional. Baik sedih , bahagia, takut, kecewa, marah, dan sebagainya (selebihnya baca buku Menggambar dengan Memori Bahagia: 2016).
Artinya bahwa ada banyak ide untuk digambar. Bukan hanya bahagia saja namun kesedihan mampu menghasikan gambar yang dahsyat. Itu biasanya berlaku bagi para pelukis atau seniman.
Apalagi bagi yang menekuni terapi psikologis. Tentu hal menarik dan hal yang digarap adalah wilayah marah, takut, sedih kecewa, trauma dan lain sebagainya.
Saya memilih menggambar bahagia. Sebab bukankah kehidupan dunia dan akhirat harapannya adalah bahagia di keduanya ? Harapannya pula , adalah sebagaimana konsep psikologis : RMP Repetitive Magic Power. Yakni sesuatu yang diulang – ulang akan menjadikan sesuatu yang dahsyat.
Demikian pula halnya dengan menggambar kebahagiaan. Jika yang diulang – ulang adalah kebahagiaan , maka yang muncul adalah bahagia itu sendiri.
Dalam praktek pembelajaran di kelas, RMP itu saya wujudkan dalam bentuk karya seni berupa gambar, lukisan, komik, puisi, lagu, cerita, drama, dan sebagainya.
Maka proses pengulangan bahagia itu, secara konsep dan praktek, menjadi sesuatu yang dahsyat bagi anak – anak itu.
Sekali lagi itu harapan dan keinginan saya.
Seiring perjalanan waktu ternyata ada temuan menarik.
Beberapa anak ada yang menangis sesenggukan saat menggambar. Tak jarang bahkan sampai akhir pembelajaran ia masih menangis. Tatkala saya tanya, itu gambar bahagia apa bukan? Ia menjawab gambar bahagia pak, tapi saya jadi sedih.
Lalu mengapa menangis ? Sebab itu adalah kebahagiaan saya yang terakhir. Karena bapak dan ibu saya bercerai setelah itu.
Saya langsung faham. Digambar itu ada anak kecil yang tangan kanan dipegang sang ayah. Sementara tangan kiri dipegang sang ibu. Anak kecil itu sendiri dalam keadaan tertawa ceria bahagia. Berjalan bersama di pinggiran pantai.
Saya terkesiap. Saya akhirnya ikut mengeluarkan air mata. Saya menangis sedu sedan pula.
Bahkan anak- anak satu kelas ikut menangis bersama. Setelah sesi presentasi di depan kelas. Sebab kebiasaan saya, adalah meminta anak – anak untuk menceritakan secara lisan dan tulisan terkait gambar yang ia hasilkan.
Beberapa anak yang lain ada yang hanya menggambar satu titik saja. Tidak ada gambar lainnya. Titik hitam besar. Saat saya tanya dia menjawab pelan. Saya tidak punya kisah bahagia pak. Dengan wajah memelas sedih.
Tentu saya kaget dan sekaligus haru.
Seluruh cerita temuan ini adalah kisah nyata. Kebetulan terjadi pada anak remaja usia kelas X SMK.
Termasuk gambar yang saya sertakan ini. Gambar salah satu anak yang menggambar kepala dirinya dengan tulisan yang kita tahu pasti betapa berat beban yang ditanggungnya.
Di gambar itu ia menulis : apa itu hidup. Mati aja. Payah. Hu hu. Gak bisa apa-apa. Goblok. Stupid. Jelek. Apa itu sayang. Apa itu rumah. Dan seterusnya.
Saya yakin kita tahu apa maksud dibalik tulisan itu semua.
Ya benar. Anak ini mengalami stres dan menanggung beban berat secara psikologis. Entah itu karena dibulli bapak ibunya atau temannya. Yang jelas itulah self talk ( bahasa hati diri) yang berkecamuk dalam pikiran dirinya.
Walhasil. Disuatu sore saat saya berdiskusi dengan salah seorang kyai yang ahli fikih, beliau yang sedari awal menyampaikan bahwa hukum menggambar manusia itu adalah haram, sebagaimana maqolah para ulama terdahulu. Namun beliau terdiam dan menjadi ikut tercenung. Akhirnya merenung.
Saya bertanya kepada beliau dengan nada sangat serius.
Sebab kajian fikih masalah halal haram dan hukum menggambar ini sudah saya dalami di era 1991an saat awal menjadi mahasiswa di PSRK IKIP Surabaya. Unesa sekarang.
Saat itu pegangan buku saya adalah Seni dalam Pandangan Islam nya Dr Syekh Yusuf Qardhawi.
Artinya bahwa memang ada ulama yang mengharamkan mutlak. Ada yang haram dan ada pula yang membolehkan dengan beberapa syarat.
Ketika mendengarkan penuturan saya bahwa menggambar dengan metode AMB adalah washilah saja bukan ghoyah , itupun anasir keharaman dibuang, tentunya menjadi tidak bermasalah.
Artinya bahwa jika gambar bukan diniatkan menandingi ciptaan Nya, apalagi disembah, tidak menggambar telanjang, apalagi disertai kesombongan, bukankah menjadi minimal mubah. Boleh. Namun , biarlah para ulama yang ahli fikih yang mendiskusikannya. Kita tentu saja akan mengikuti fatwa ulama dalam hal ini.
Sedikit menyinggung tentang metode menggambar AMB. Yaitu dimulai dengan teknik 1. Relaksasi 2. Pembayangan 3. Penggambaran.
Dari hasil diskusi dengan Lisa Sidyawati . Beliau adalah mahasiswa doktoral di Unes Semarang mengatakan , bahwa AMB itu kata beberapa profesor pembimbing disertasinya , bukan sekedar metode tapi sudah menjadi model. Ya model belajar.
Sebab jika metode hanya memakai satu cara. Sedangkan model adalah menggunakan beberapa cara atau metode.
Memang, saya di kata pengantar buku itu memberikan catatan bahwa Menggambar Dengan Memori Bahagia ini memadukan integrasi beberapa keilmuan. Baik pedagogi – psikologi – neurologi – spiritual – dan motivasi.
Namun, saat saya mendapatkan pemaparan para akademisi di Aposteriori seni Nusantara, di Oudetrap Kota Lama Semarang 23 – 24 Mei 2024 lalu, saya jadi paham sedikit tentang model pembelajaran yang dimaksudkan.
Kesimpulannya, jika suatu metode atau model pembelajaran, mampu mengungkap keadaan psikologis seseorang, bukankah disitu letak kita sebagai guru, orang tua, teman untuk membantu dan memotivasi seseorang tersebut ?.
Syukur jika kemudian kita membantu menerapi jiwanya.
Sehingga AMB dan atau Menggambar Memori Bahagia tak pelak hanya sebagai pintu pembuka kesadaran diri seseorang. Agar ia mampu mau terbuka untuk menghadapi kenyataan hidup. Menerima dengan kesadaran diri. Memaafkan diri sendiri. Sekaligus menerima taqdir Nya sebagai aplikasi rukun iman ke enam.
Sebab, jiwa yang bermasalah adalah tatkala ia tidak mau menerima kenyataan hidup. Atau memiliki kondisi hidup tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Beruntung, saya pribadi belajar SEFT ( Spiritual Emotional Freedom Technique) yang ditemukan oleh Psikolog Faiz Zainudin. Beliau adalah guru saya dalam terapi psikologi. Dalam aplikasinya, SEFT itu saya sederhanakan dengan nama TPI ( Terima Pasrah Ikhlas).
Sampai disini, Menggambar dengan Memori Bahagia dsngan metode AMB Aktivasi Memori Bahagia, menjadikan satu pemahaman baru. Bahwa gambar adalah benar- benar jiwa tampak.
S.Soedojono mengatakan sebagai Jiwo Ketok.
Maka menghadapi kasus gambar anak seperti yang saya cantumkan diatas, jawabannya adalah anak itu harus diajak diskusi dan pada akhirnya diterapi.
Disinilah letak hubungan antara menggambar memori bahagia ( seni rupa) dengan jiwa seseorang ( psikologi). Keduanya erat menjadi satu kesatuan.
Maka sudah selayaknya sebagai orang tua, guru, saudara, siapapun saja yang menghadapi anak dengan kondisi jiwa diatas harus berfungsi ganda. Benar, harus menjadi seorang sahabat dan terapis sekaligus !.
Sebab hal – hal yang telah ia tuliskan harus ‘didetoksifikasi’ racun- racun pemikiran dan jiwanya. Sehingga ia menjadi bersih kembali. Jika tidak itu menjadi mental blok dalam diri.
Sehingga pada akhirnya, anak – anak dan remaja bahkan orang tua sekalipun, diharapkan mampu mendeteksi diri akan jiwanya kemudian secara tepat memotivasi sekaligus menerapi diri dengan konsep terima – pasrah – ikhlas.
Tentu saja agar kita tidak sakit jiwa ! Sebab jika masuk rumah sakit, harus masuk di klinik ganguan jiwa . Maukah kita ? Tentu saja tidak.
Semoga jiwa – jiwa kita bahagia selalu adanya. Sebab jiwa yang tenanglah ( mutmainnah) yang akan merasai manisnya hidup dan surga dengan penuh keridhoan Nya.
Semoga kita termasuk didalamnya.
Aamin.
Joglo Sendang Kamulyan art space
( penulis ada pelukis, guru SMKN 1 Boyolangu, pembina Komunitas Padhang Njingglang)
Sumber bacaan :
1. Menggambar dengan Memori Bahagia , penerbit Paramarta, 2016
2. Katalog Aposteriori Seni Nusantara 2024